STUDI
KASUS SENGKETA ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN
LIGITAN
A. Latar belakang
Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia
bereaksi terhadap perjanjian kerja sama antara Indonesia dengan Japex (Japan
Exploration Company Limited) tahun 66. Malaysia juga melakukan kerja sama
dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 68, sebagai tanggapan terhadap kegiatan
eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 69, Malaysia mulai melakukan klaim
bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di
tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi
berlangsung dengan cara "Asian
Way", sebuah cara yang mengedepankan dialog,
dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam
tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan itu dicoba dilakukan dengan
cara"sambal minum teh"
Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga
Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 91, Malaysia
tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah
Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah
dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus ( betapa
"kasihannya" Indonesia itu ). Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan
Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court
of Justice, the Hague di Belanda.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana diplomasi yang
dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian Kasus Sipadan-Ligitan?
2. Kenapa Indonesia dapat kalah dalam kasus tersebut padahal peluang
Indonesia Malaysia adalah fifty-fifty?
3. Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk
kedepannya dalam mengatasi kasus yang serupa?
C. Putusan Mahkamah Internasioanal
Pada
tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari
Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan
Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
dilembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan
batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah
melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan
berdasarkan chain of title (rangkain kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi
gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia
di selat Makassar.
D.Pembahasan
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional inipada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional inipada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali
dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak
dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama
regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena
dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur
tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya
sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah
regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan
termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk
membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan
Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi
dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa
Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat
seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu
mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih
banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga
cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita
menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan
dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur
lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan
pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun
melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia
juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka
masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan
Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung
selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas
sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di
sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia
tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan
pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa
secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974
Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Sipadan-Ligitan
lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini
terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan
kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita
miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana
adalah orang-orang Indonesia.
Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia
dan bangsa Malaysia berasal
dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan
penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah
menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat
merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah
internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan.
Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan
terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata
hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih
dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari
Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak
terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya
apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola
Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan
friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia
merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan
melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang
dialami Indonesia. Pertama,
Indonesia masih
memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim
wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung
jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam
kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang
menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat
kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari
luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika
dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan
militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata
pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan "besi tua yang mengambang" dan
tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan
militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari
kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang
waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun
1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia
sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang
dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia
21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang
dari 10 tahun.
Dalam relasi
dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap
sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomatis menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya
pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik
menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita
lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi
wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya
proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan
kepentingan Indonesia,
termasuk persoalan perbatasan di forum internasional. Hal ini terlihat dari
minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI
atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau
"tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi
alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari
perhatian Pemerintah Indonesia.
E. Kesimpulan
Putusan Mahkamah Internasional untuk menyerahkan status Sipadan-Ligitan
kepada Malaysia merupakan pengalaman berharga yang mesti ditarik hikmahnya oleh
semua pihak yang terkait. Beberapa pelajaran yang bisa diambil adalah :
Pertama, bagi pemerintah dan Deplu agaknya masih perlu membagi
perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial ini. Di
tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya
pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai
sebuah negara kepulauan, Indonesia
perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang
masih memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam,
dan Singapura.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Kedua, mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial.
Ketiga, mempertanyakan komitmen kita kembali sebagai negara
kepulauan untuk secara efektif menguasai seluruh pulau di batas teritori kita.
Tentu saja hal ini membutuhkan kerja keras dan koordinasi dari semua lembaga
yang berurusan dengan pembinaan pulau dan penjagaan wilayah laut RI. Koordinasi
ini perlu dilakukan karena masalah yang terkait dengan penjagaan wilayah laut
RI juga berkaitan dengan maraknya kejahatan transnasional. Kejahatan
transnasional yang rentan terjadi di Indonesia adalah pencurian ikan,
bajak laut, penyelundupan manusia, dan penyelundupan senjata konvensional.
Keempat, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses
sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada
umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses
diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh
masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa
Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan
mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada
umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar